21 Mei 2008

CATATAN HARIAN 16 AGUSTUS 2045



Langkah kakiku kuayun perlahan. Malam kurasa hangat, dimusim yang terasa sangat hangat di badan. Terasa hangat pula di jiwa. Kususuri malam, dan mataku terpaku pada sebuah warung kopi yang ada di ujung jalan yang sedang kutapaki ini. Aku ingin kesana, melihat apa yang terjadi disana.
Langkah kakiku kupercepat, dan oh, kulihat sekerumunan orang di sebuah kedai. Mereka sedang asyik bersenda gurau dan menikmati malam rupanya. Sebuah warung sederhana di pinggir kota jakarta. Segera ku melangkah kesana, mulutku terasa asam dan rasanya butuh segelas kopi dan nimbrung bersama mereka. Aku memesan sebuah kopi pahit, tanpa gula kesukaanku. iga orang diseberangku tampak sedang ngobrol dengan seru. Aku duduk disalah satu sudut warung itu, dan tentu saja aku mendengar obrolan mereka.

"Gue percaya, besok pak presiden akan pidato berapi api. Belia
u pasti akan bicara soal pendidikan dan lapangan kerja baru," Seseorang berambut kribo berbicara dengan berapi api. Sebatang rokok menyelip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Segelas kopi, tak jauh dari jangkauannya.
"Gue juga mikir gitu Bo, juga pasti akan bicara soal bagaimana langkah selanjutnya setelah empat tahun negara kita bebas hutang. Selalu ada langkah dan kebijakan baru yang akan dijalankan tiap tahun. Aku akan nonton siaran langsungnya. Ga boleh di tinggalin nih," Timpal seorang yang lain sambil mengunyag pisang rebus di mulutnya. Sosok yang ini agak berbeda dari sebelumnya. Rambutnya cepak, mirip anggota TNI. Namun dari potongannya aku bisa pastikan bukan.

"Ye...elo..sapa juga yang mau ninggalin pidato keren gitu.
Walau kita orang kecil gini, klo denger pak presiden pidato rasanya kaya dibawa kelangit tujuh. Dan kaga salah gue milih dia, kan kaga ada ingkar janjinya pak presiden kita...,"orang ketiga yang berambut botak dan perut agak buncit tak mau kalah berkomentar. Diseruputnya kopi yang tampaknya masih hangat usai nyeletuk tadi.

"Coba, elu elu pada ingat kaga," si botak melanjutkan. "Pas dulu dia naik jadi presiden untuk kali pertama, pak presiden kaga janji muluk-muluk. Janjinya, dalam s
etahun Biaya pendidikan gratis dari SD sampe SMA di seluruh negeri, trus bakal naikin pajak buat yang kaya dan ngebantu orang-orang yang mau buka usaha. Bayangin tu, dulu kan banyak yang kaga percaya, kata orang-orang yang sok pinter ntu...pak presiden cuma nyari bahan kampanye doang. Eh..nyatanya bener kan..belum ampe setahun semua dah gratis. Dari presiden yang dulu dulu..kaga ada tuuu yang kayak gitu..."
"Bener elo tak,"Kali ini si cepak kembali bicara."Pak presiden dulu memulai cuman dengan janji janji sederhana. Tapi terlaksana semua. Yang ga suka mah orang-orang yang kaya itu, yang mobilnya bertumpuk tumpuk, kan mereka kena pajak gede. Tapi yang seneng kan juga banyak. Inget gak lo, banyak pelatihan kerja dibuka, gratis lagi. Gue aja bisa buka bengkel kan karena pelatihan dulu itu. Elo juga kan bo, coba kalo elo dulu kaga ngikut pelatihan mengelola sampah yang bener, mana bisa elo bisnis kompos kayak sekarang. Trus inget inget dah tu..banyak orang seperempat kaya jadi setengah kaya...peluang usaha dibuka,.."

Si kribo yang sebelumnya mendengar saja, segera menyergah.

"inget lah..ma
sa lupa, kribo gitu looh...dan nyang mbikin gue salut sama pak presiden, dia mah kaga macem macem. sederhana banget hidupnya. Doi ga pake ngomong berantas korupsi, ga pake ngomong berantas koruptor, tapi terus ngingetin aparat bahwa mereka bekerja untuk negara, untuk rakyat, bukan untuk kantong pribadi. Dan di contohin ama ntu pak presiden dengan hidup yang sederhana...pada malu ndiri deh tu yang niat korupsi hehehe..."

Ah, rupanya mereka sedang membicarakan presidennya. Aku diam saja, namun ada godaan dalam hati untuk ikut nimbrung. Kucoba bicara, dan memulai pembicaraan.


"Maaf bang, pada ngobrolin apa nih,"perlahan aku membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan. Tiga orang yang sedari tadi berbincang seru, menoleh k
earahku. Seolah mereka baru menyadari bahwa ada orang lain disana.

"eh..bapak gimana se..masa dari tadi ga denger kami lagi pada ngobrolin apa..."si kribo yang pertama berkomentar.

"Iya, saya denger. kayaknya asyik banget, makanya ga enak kalo nyerobot," timpalku pelan.

"Ini pak, menurut bapak besok pak presiden pidato apa
an...?"Si Botak menyela dan bertanya.
"Waduh, kan tadi bapak bapak dah pada ngobrolin. Kayak gitu juga kali pendapat saya mah...tapi ngomong-ngomong dari tadi pada muji muji pak presiden terus,..lha emang ga ada kurangnya apa di mata bapak bapak?" Aku balik bertanya.

"wah bapak...kalo kurangnya mah pasti ada pak, cuman enakan ngomongin baiknya ajah..,"si kribo menyahut.

"Itu artinya tetep ada kurangnya kan?" Aku balik menyerg
ah.

"Yah..kalo menurut ane se pak, kurangnya ya itu dia ga terlalu religius dan terlalu nasionalis. Dan juga masa
presiden bertato...ini ni yang mbikin orang orang senayan punya alasan nyerang pak presiden. Aneh aneh aja dah...kan aslinya kayak gitu ga penting yak..yang penting gimana rakyat sejahtera, merdeka lahir batin dan bisa njalanin idup dengan bahagia..setuju kaga pak?" Si kribo menjawab panjang lebar. Jawaban si kribo disahutin dengan koor setuju dari kedua temannya.
"Nah itu dia pak, yang kurangnya pak presiden. Dia bertato dan kadang terlalu berani ngadepin negara lain. Masa amerika dibilang negara terjorok di dunia karena orang amerika padang suka makan hot dog, anjing panas. Hehe, berani bener yak...kan kami jadi was was kadang kadang klo ampe gimana gmana...coba klo amerika nyerang kita kan berabe..,"si cepak gak kalah seru berkomentar.

"iye tu pak gara gara bertato sampe sempet rame ka
n dulu para tokoh agama berkicau. ada yang bilang negara ini ga boleh dipimpin preman lah, ada yang bilang negara akan segera kiamat lah. Tapi toh pak presiden tetep jalan. Trus kebijakannya yang dulu tu..yang narik semua tekawe, ngagetin tuh. Pengangguran sempet membludak. Tapi toh semua bisa diatasi kan...,"giliran si botak yang menyerobot.

Aku terdiam. Mengangguk-anggukkan kepala.

"lha kalo menurut bapak ndiri gimana?" si kribo menyergahku.

Aku tergagap mendengar pertanyaan itu.


"Kalo menurut saya se, ya pak presiden dah keren. Cuman ya ada yang tetep perlu diperbaiki,"Aku menjawab pelan.

"Pak presiden kalo menurut saya, ya seperti yang tadi pada diobrolin, perlu lebih dekat ke kalangan agama. Karena negara kita kan negara yang berdasar ketuhanan, dan banyak agama dianut, jadi ya presiden kayaknya perlu kearah sana. Biar kata orang, kalo negara kita dunia nya udah dapet ya akheratnya juga dapet gitu kan bang?"

"iya pak betul itu pak,"sahut mereka nyaris berbarengan.

pada saat bersamaan kurasa ponselku bergetar. Sebuah panggilan tak terjawab kulihat, dari nomer seseorang yang sudah kukenal sangat baik. Aku harus segera pergi.

"Nah, bapak bapak, saya mau permisi dulu yah..kayaknya sudah malam,"aku berpamitan kepada mereka.

"Lho, bapak emang tinggal dimana, kok seingat saya ga pe
rnah liat bapak di sini?" Si kribo bertanya.

"Saya baru pindah deket sini pak, jadi ya belum sering ketemu,..nah gimana itung itung perkenalan saya, malam ini saya yang traktir?"aku menawarkan niat kepada mereka.

"Wah..boleh deh pak..terimakasih terimakasih," sahut mereka, tidak berbarengan.

Aku segera mendekat ke meja kasir, dan membayar apa yang harus kubayar. Namun sial, ketika usai itu lengan kananku terangkat, dan memperlihatkan tattoo sebelah kananku. Segera kusadari itu dan berusaha aku menutupnya kembali, namun terlambat.

"Lhoo..bapak...kok pake tattoo..kayak kayak...,"si kribo bicara tergagap.

"kayak apa?"sergahku


"Kayak pak presiden...,"sahutnya lagi.

"halah..kalian ini..mana ada presiden keluyuran malam malam begini. Gimana kalo bilang aja, saya ini penggemarnya pak presiden..sama seperti bapak bapak...
.kita doakan saja agar pak presiden panjang umur dan dikaruniai kesehatan lahir batin, agar bisa seperti harapan bapa semua. Saya pamit dulu ya, met malam semua,"Aku segera bergegas. Tak ingin ada pembicaraan lain malam itu.
Tak jauh dari tempat aku ngopi tadi, kulihat sebuah mobil yang parkir di seberang jalan mengedip-ngedipkan lampunya. Aku bergegas kesana. Disana sedang menunggu istri dan simanja tercintaku, ditemani seorang lelaki muda yang mengemudi untuk kami. Malam telah habis dan pagi menjelang ketika kemudian bersama mereka melintasi jalan-jalan di jakarta yang kurasa telah enggan tidur walau malam hari telah lewat.
***
Dikamar, aku termenung. Kumis palsu, wig dan kacamata palsu segera kutanggalkan. Aku kembali menjadi aku yang biasanya. seorang presiden untuk republik yang kucintai, republik Indonesia. Hari menjelang pagi, namun mata ini enggan terpejam. Obrolan malam tadi cukup mengilhamiku. Mungkin benar aku telah berhasil sebagai presiden untuk negeri ini. Banyak kemajuan telah kuraih, namun tak kurang pula banyak hal yang masih harus dibenahi.
Kala pertama dulu aku menjabat, yang ada di benakku adalah ibu. Ibu yang kucintai, yang sepanjang hidupnya berbakti pada negara ini sebagai seorang guru. Kehidupan seorang guru aku tahu betul. Ibu tidak pernah hidup berlebihan, bahkan karena banyak ambil kredit, gajinya minus. Tinggal gaji bapak seorang, yang adalah anggota TNI, yang juga gajinya tak banyak, yang menopang hidup kami. Bapak bahkan harus kerja luar untuk membiayai kehidupan kami.

Aku tau persis, ibu tidak sendiri, begitu juga bapak. Banyak guru-guru lain juga tentara-tentara lain yang hidup pas pasan. Padahal ditangan orang-orang seperti mereka lah nasib bangsa dan negara ini dipertaruhkan. Guru untuk m
endidik generasi muda bangsa agar mampu menghasilkan anak didik yang mampu membawa bangsa dan negara ini terus maju kedepan, dan tentara yang bertanggung jawa akan keamanan negeri ini.

Karena itu lah, pada awal pemerintahanku dulu, kuprioritaskan program pada kesejahteraan dan keberhasilan dunia pendidikan di negeriku. Gaji dan tunjangan kesejahteraan bagi guru dan tentara aku prioritaskan, dan subsidi pendidikan kuperbesar. Syukurnya, aku bisa penuhi janjiku setelah setahun pemerintahanku.

Agak sulit memang ketika itu. Aku harus memutar otak darimana dana-dana itu berasal untuk membiayai impianku dan cita-cita besar tentang negara yang kuci
ntai ini. Untuk ini aku harus berterimakasih pada seluruh menteri yang bekerja dalam pemerintahanku yang telah mencurahkan 110 perseh hidupnya untuk negeri ini. Menteri-menteri bekerjasama bahu membahu. Menteri keuangan, tak henti hentinya mengingatkan kolega nya untuk menekan kebocoran anggaran. Sambil terus menerus memberi informasi peluang penambahan penghasilan negara. Menteri perekonomian pun begitu. Dengan gesitnya dia bekerjasama dengan menteri tenaga kerja membuka peluang peluang usaha baru. pelatihan tenaga kerja di tingkatkan, regulasi regulasi yang semakin memudahkan dunia usaha kami keluarkan. Perlahan dunia usaha menemukan arah yang kuimpikan. kelak, pada tahunterakhir periode pertama pemerintahanku, seluruh hutang negara ini telah lunas. Aku bersyukur mampu melaksanakannya.

Menteri menteri yang lain pun menunjukkan dedikasi yang luar biasa. Mungkin, saking berdedikasinya, terkadang dalam rapat kabinet sering kutemui beberapa menteri saling gontok gontokan. Itu bukan persoalan buatku, malah aku bersyukur. Itu artinya mereka berjuang untuk kebaikan bersama. Toh, selama masih bisa dimanajemen secara baik, semua itu bisa kuatasi
. Aku boleh berbangga hati rasanya atas kemampuanku dalam bidang manajemen konflik. Pernah satu kali, menteri kehutan marah-marah kepada koleganya menteri perindustrian akibat salah koordinasi tentang pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan. Untungnya, ya itu tadi, aku berhasil menciptakan suasana kerja yang serba terbuka. Semua dibahas secara transparan, dari sana semua masalah bisa diatasi, walau terkadang harus dengan luapan nada bicara yang berat.

Laut yang menyatukan kami sebagai negara bangsa yang bes
ar, aku manfaatkan semaksimal mungkin, dan kami menjadi kuat sebagai negara bahari. Hasil laut berlimpah, nelayan yang tersenyum dan armada laut yang perkasa. Ya, seluruh kekayaan yang terkandung dalam negeri ini, kumanfaatkan sebesar besarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Perlahan lahan imperium asing yang bertahun tahun menghisap negeri kami, kusingkirkan satu satu, berganti kekuatan nasional, milik kami sendiri, milik anak negeri. Mungkin ini yang menyebabkan aku dicap terlalu nasionalis. Tapi apakah itu salah? Rasanya tidak. Aku melakukannya bukan untuk isi perut dan kantongku, melainkan untuk negeriku.

Korupsi, yang sebelumnya menjadi lintah bagi negeriku, perlahan bisa kuatasi. Aku tak pernah menyatakan atau menjanjikan kepada rakyatku bahwa korupsi akan dijadikan musuh bersama, akan segera lenyap dalam satu hari. Tidak, aku tak akan melakukan itu. Aku memburu pelaku korupsi berdasarkan hukum, dan kulakukan secara merata. Tak ada perbedaan bulu. Pelaku koru
psi akan diproses secara hukum, sesuai ketentuan yang berlaku, aku tak akan campur tangan. Bagiku yang lebih penting adalah menumbuhakn mentalitas bangsa yang kuat, sebuah bangunan karakter bangsa yang kokoh hingga setiap orang dan aparat negara akan bermental tangguh dan akan merasa malu untuk melakukan tindakan tercela. Untuk ini tentu saja aku harus memulai memberikan contoh. Sedari kecil, aku memang dididik untuk hidup sederhana dan tidak berlebih. Jadi kenapa aku harus hidup berlebih sekarang? Tidak. Aku tetap hidup sederhana, dan kutekankan pada setiap menteri dalam kabinetku untuk hidup secara sederhana. kepada mereka kutekankan agar menggulirkan itu kepada setiap aparat dibawahnya. Begitu terus sampai aparat paling depan yang langsung berhadapan dengan rakyatku.

Memang, naif rasanya jika melakukan itu tanpa juga melak
ukan stimulasi psikologis secara sedikit kasar. Kuwajibkan setiap kantor aparat pemerintahan, terutama yang berhubungan langsung dengan masyarakat menempelkan dua kalimat sederhana yakni, "Saya sudah digaji dan bersyukur atas rejeki yang saya punya" dan satu lagi, "Saya tidak mau menukar harga diri saya dengan rupiah, saya bangga sebagai pegawai yang jujur". Cukup, dan efeknya perlahan bisa kuketahui, positif.

Tentu saja aku tidak hanya melihat potensi yang ada di dalam negeriku saja. Aku melihat setiap potensi yang ada, bahkan dari luar negeri, dari negara-negara sahabatku. Bagaimana aku akan memperoleh uang untuk membiayai impianku? Pertanyaan ini terus menggelayuti pikiranku. Syukurlah negeriku sangat kaya dan banyak sahabatku pemimpin negara lain yang membutuhkan produk-produk kami. Aku merayau mereka dengan sangat lembut untuk membuka pasar selebar-lebarnya bagi produk asal Indonesia. Aku pasang badan kepada mereka bahwa aku akan menjamin kualitas-kualitas produk negaraku. Perlahan, kudapati banyak peluang kuraih. Jenis produk yang bisa di ekspor berlipat ganda, dan selalu kukatakan kepada rakyatku, agar jangan sekali kali menjual produk kualitas rendah, karena reputasi dan harga diri bangsa yang menjadi taruhannya. kembali aku bersyukur, ba
hwa seruanku ini tidak bertepuk sebelah tangan. Mereka menjawab dengan apa yang mereka seharusnya kami semua jawab: Kualitas terbaik.

Dari sana, pendapatan bertambah. Kusampaikan ini semua secara terbuka kepada rakyatku dan kugelorakan semangat membangun, semangat produktif pada setiap insan putra-puti ibu pertiwi ini. Kusampaikan kepada mereka bahwa setiap orang adalah penting bagi negara ini, tak terkecuali apapun pangkat dan kedudukannya. Kubesarkan hati mereka, kugelo
rakan semangat mereka dan kupacu gairahku sendiri agar aku selalu siap menghadapinya.

Negara Indonesia adalah negara besar. Kuajak setiap rakyatku untuk berfikir besar. Berfikir sebagaimana bangsa yang besar berfikir, bahwa kami bangsa Indonesia akan bisa melakukan apapun dan menghasilkan apapun bagi kehidupan kami. Jika kami tidak mampu, kami akan belajar untuk mampu. Aku berusaha memperlakukan setiap wilayah negaraku dengan dengan adil, merata dan seimbang. Setiap potensi daerah kukembangkan semaksimal mungkin dan kami sendiri bang
sa Indonesia yang mengolahnya. Bukan orang lain. Sedikit banyak memang masih kutemui kesenjangan antar daerah, tapi yang kulihat tidak itu. Gairah dan semangat untuk menjadi bangsa besar itu yang kucari. Beberapa daerah memang masih tertinggal, beberapa daerah memang masih terbelakang. Tapi lebih banyak daerah lain telah maju dan mereka yang tertinggal tadi pun bukannya karena malas, namun semua ini perlu proses dan waktu bukan?

Pidato kenegaraanku untuk kubacakan besok telah siap sejak kemarin. Kuputuskan untuk menambah beberapa pargraf atas inspirasi yang kuperoleh dari obr
olan tiga orang rakyatku tadi, dan benar kata mereka, aku harus lebih mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Aku sering melakukan ini. Bersama orang-orang terdekatku, malam hari menghabiskan waktu sekadar untuk menyerap aspirasi secara langsung, berbicara kepada setiap orang yang kutemui dan aku merasa sangat berbahagia dengan apa yang kuraih. Tapi banyak impian lain yang belum mampu aku raih. Tahun depan kami akan menyelenggarakan pemilu. Masa dua periode kepemimpinanku segera berakhir. Aku telah melihat banyak kader kepemimpinan yang siap menggantikanku. Beberapa dari koalisiku, beberapa dari oposisiku. Aku bangga pada mereka. Aku selalu berusaha mengingatkan hati dan pikiranku, bahwa oposisi itu bukan musuhku. Mereka adalah partner tebaik untukkku dalam memimpin negeri ini. Demokrasi yang telah sehat di negeri ini, aku berharap terus berumur panjang.

Besok, negaraku akan genap merdeka 100 tahun. Bukan umur yang pendek, namun bukan pula umur yang panjang. Negeri ini akan terus hidup dan hidup untuk ber
atus ratus tahun, berjuta juta tahun yang akan datang. Aku percaya itu kemarin, aku percaya itu hari ini dan aku akan terus percayaitu selama hidupku. Aku mencintai negeriku, Indonesia.

Tidak ada komentar: